Pemberantas Yang Terancam “Diberantas”

Oleh : FA Aziz dan Titis Tri Wahyanti

Kasus dugaan pemerasan yang ditudingkan kepada dua Pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah menghadapi babak baru yaitu penolakan Mahkamah Agung atas Pengajuan Kembali yang diajukan Kejagung terhadap banding SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) kasus keduanya oleh Anggodo Widjojo.

Dengan ditolaknya PK (Peninjauan Kembali) kejaksaan dalam perkara Bibit-Chandra oleh Mahkamah Agung (MA), maka keraguan dan ketidakpercayaan rakyat atas kemauan politik dan kapabilitas pemerintahan SBY menegakkan hukum mendapatkan pembenaran.

Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo mengataka penolakan PK kejaksaan dalam perkara Bibit-Chandra tersebut mengonfirmasi dua hal sekaligus. Pertama, agenda penegakan hukum mendekati status gagal total, karena penolakan PK itu merefleksikan kemenangan telak para koruptor dan mafia hukum dalam upaya melumpuhkan KPK. “Bagaimana pun, KPK saat ini nyaris lumpuh total akibat serangan mafia hukum yang begitu kuat perannya dalam institusi negara,” tegasnya.

Kedua, penolakan PK itu juga menjadi bukti bahwa pemerintahan SBY tidak kapabel dalam menegakkan hukum. Presiden tidak efektif mengontrol dan mengendalikan para pembantunya di bidang hukum, utamanya polisi dan jaksa. Akibatnya, agenda penegakan hukum lebih banyak diisi sandiwara, rekayasa dan retorika, semata-mata demi citra. Caranya, mendongkrak citra dengan membesar-besarkan kasus skala kecil, dan menyikapi kasus skala besar dengan retorika. “Perkembangan kasus Bibit-Chandra adalah buah dari sandiwara dan rekayasa oleh mafia hukum yang dilakoni oknum aparat penegakan hukum,” katanya.

Sejak awal, presiden tidak tegas menyikapi rekomendasi Tim 8. Ketidaktegasan presiden itu membuka ruang bagi para pembantunya untuk terus “memainkan” kasus Bibit-Chandra. Amanat presiden agar kasus ini diselesaikan di luar pengadilan mestinya ditindaklanjuti dengan mendeponering perkara. Tetapi, keharusan mendeponering kasus Bibit-Chandra tidak dilakukan para jaksa. Untuk mendapatkan ruang “memainkan” kasus ini, para jaksa hanya menerbitkan SP3, dan mereka sudah tahu bahwa pada akhirnya PK akan ditolak MA. “Sekarang waktunya sudah terlambat. Bibit dan Chandra harus berani membersihkan diri di pengadilan. Pahit memang. Tapi itulah hukum kita,” paparnya.

Sebelumnya PK atas perkara praperadilan dua pimpinan KPK yang diajukan oleh Kejaksaan Agung ditolak oleh MA. Penolakan PK atas praperadilan Bibit Samad dan Chandra itu disampaikan oleh Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Nurhadi, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, (8/10).

“Amar NO atau PK tak dapat diterima karena tak memenuhi syarat formil, sesuai dengan UU No 5/ 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu MA berhak memutus PK dalam tingkat kasasi kecuali yang dibatasi oleh UU yaitu putusannya pra peradilan,” katanya.

Konsekuensi dari putusan tersebut, maka Bibit dan Chandra harus harus menjalankan putusan PT Jakarta yang menyatakan SKPP Bibit-Chandra tidak sah. Yaitu dimajukannya kasus dugaan suap terhadap pimpinan KPK dengan terdakwa Anggodo Widjojo terkait proses hukum kasus dugaan suap proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) ke pengadilan.

Bibit Samad Riyanto yang menjadi tersangka dugaan pemerasan terhadap Anggodo Widjojo menyesalkan kejagung yang sejak awal tidak indahkan perintah presiden terhadap kasusnya. Buktinya, PK yang diajukan kejagung kini ditolak MA. “Kan dulu sudah ada perintah presiden, dari hasil Tim 8. Itu sudah jelas, tidak (usah) masuk ke pengadilan. Dulu juga sudah ada penilaian, bisa tidaknya PK dimasukkan. Tapi kata mereka (kejagung) bisa, yah sekarang malah begini,” sesal Bibit.

Apalagi, lanjut Bibit, ditambah dengan perkara percobaan penyuapan yang dilakukan Anggodo Widjojo yang juga sudah dinyatakan terbukti bersalah oleh Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu. Menurut dia, hal itu sudah semakin membuktikan bahwa tudingan yang dialamatkan kepada dirinya dan Chandra M Hamzah soal pemerasan adalah tidak ada. “Anggodo juga terbukti bersalah, walaupun dia masih banding. Jadi kan ketahuan kasus ini (dugaan pemerasaan) rekayasa,” imbuh dia.

Sekarang, lanjut Bibit, dirinya pasrah terhadap langkah yang akan diambil selanjutnya oleh Kejaksaan Agung. Karena bagaimana pun perkara itu merupakan kewenangan kejagung. “Terserah Kejaksaan Agung. Itu wewenang Kejaksaan Agung, saya ngikut saja,” tandasnya.

Laode Muhammad Syarif, pakar hukum Universitas Hasanuddin menilai MA cenderung menggunakan kacamata kuda saat menolak PK Kejaksaan Agung terkait kasus dugaan rekayasa yang menjerat pimpinan KPK Bibit Samad dan Chandra Hamzah.

Dalam putusan MA disebutkan, penolakan berdasarkan pasal 45a Undang-Undang no 5 tahun 2004 tentang MA yang menyebutkan praperadilan tidak bisa diajukan kasasi ke MA. Putusan MA dinilai Laode mengesampingkan hakekat keadilan. “MA mendahulukan rules of procedure. Namun MA mengesampingkan substansive justice, hakekat keadilan,” kata Laode M Syarif.

MA juga diduga melanggar Undang-Undang Dasar “45 pasal 28 ayat i. Dalam pasal itu disebutkan warga negara berhak akan “kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. “Ini memperlihatkan MA mengangkangi nilai konstitusi,” ucap Laode. Laode juga menilai, MA tidak mempertimbangkan sejumlah fakta terakhir terkait kasus Bibit dan Chandra. “Kami meminta MA untuk mempertimbangkan fakta terakhir antara lain dalam persidangan Anggodo Widjojo,” ujar Laode.

Sementara itu Tim Pengacara Bibit Chandra (TPBC) meminta kejagung melakukan pemeriksaan tambahan terhadap sejumlah saksi dan penuntut umum di sidang perkara Anggodo Widjojo. Hal itu, menurutnya, untuk membuktikan bahwa tudingan pemerasan yang dialamatkan kepada Bibit Samad dan Chandra Hamzah oleh Anggodo Widjojo tidak benar. “Ada beberapa opsi, yang paling tepat, kejagung melakukan pemeriksaan tambahan, lalu menerbitkan SKPP baru dengan alasan lebih tepat,” sebut salah satu anggota TPBC Alexander Lay.

Langkah itu, kata Alex, dimungkinkan karena diperkuat ketentuan dalam KUHAP dan banyak perkembangan baru terjadi seputar kasus Anggodo versus Bibit-Chandra ini. Selanjutnya, penerbitan SKPP baru, yaitu dengan alasan tidak cukup bukti dalam upaya pemerasan. Sedangkan dalam dugaan penyalahgunaan kewenangan menurut dia, termasuk dalam ranah pidana, melainkan administrasi. “Ini sinkron dengan hasil rumusan Tim 8,” urai Alex.

Sedangkan opsi kedua selain pemeriksaan tambahan untuk menerbitkan SKPP kedua, lanjut Alex, yaitu kejagung harus melakukan deponering atau mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Sumber : Surabayapost, 11/10/2010

Posting Terbarau

Kaum hawa identik dengan keindahan dan kecantikan. Berbagai upaya dilakukan untuk menambah kecantikan dan kepercayaan diri. Pasar dan produk kecantikan terus meluas dan berbagai teknologi dikembangkan untuk memenuhi permintaan mengoreksi ....

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfudz MD menyakatan, Indonesia kesulitan menghadapi gerakan radikalisasi Islam. Munculnya gerakan ini perlu mendapat perhatian NU dan rakyat Indonesia.Hai itu disampaikanya usai mengahidiri Seminar Internasional 100 tahun KH Wahid Hasyim di Pondok Pesantren....

Kisruh yang terjadi dalam kongres PSSI membuat kalangan persepakbolaan negeri ini seakan diujung tanduk kehancuran, andai saja kongres yang akan kembali digelar di Solo nanti kondisinya tidak berubah sebagaimana kongres sebelumnya maka sangsilah yang akan dihadiahkan oleh FIFA kepada PSSI. Kondisi tersebut...